SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA / SEMOGA BERMANFAAT / JANGAN LUPA SHOLAT, BACA QUR'AN, SEDEKAH DAN SOLAWATAN

Kamis, 22 Januari 2015

PERMASALAHAN KOTA



BAB II
PEMBAHASAN
     A.    Permasalahan Kota

Dengan berbagai persoalan ini, penataan kota menjadi semakin kompleks. Beberapa permasalahan kota tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
1.      Arus Urbanisasi yang Cepat
Urbanisasi menurut Prijono Tjiptoherijanto berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan mereka yang awam dengan ilmu kependudukan seringkali mendefinisikan urbanisasi sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota (Prijono, Urbanisasi, Kompas, Senin 8 Mei 2000).
Berdasarkan survei penduduk antar sensus (Supas) 1995, tingkat urbanisasi di Indonesia pada tahun 1995 adalah 35,91 persen yang berarti bahwa 35,91 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Tingkat ini telah meningkat dari sekitar 22,4 persen pada tahun 1980 yang lalu. Sebaliknya proporsi penduduk yang tinggal di daerah pedesaan menurun dari 77,6 persen pada tahun 1980 menjadi 64,0 persen pada tahun 1995.
Meningkatnya kepadatan penduduk perkotaan membawa dampak yang sangat besar kepada tingkat kenyamanan yang tinggi. Kota seperti Jakarta misalnya tidak dirancang untuk melayani mobilitas penduduk lebih dari 10 juta orang. Dengan jumlah penduduk lebih dari 8 juta penduduk saat ini, ditambah dengan 4-6 juta penduduk yang melaju dari berbagai kota sekitar Jakarta, menjadikan Jakarta sangatlahsesak.

 Kedekatan jangkauan terhadap pusat-pusat perekonomian di perkotaan, menjadikan daya tarik lain sehingga sebagian penduduk lebih memilih tinggal di kota, meski mereka terpaksa tinggal di ruang yang sangat terbatas. Akibatnya, area-area kumuh, dengan fasilitas kehidupan dan kebutuhan umum yang terbatas, menjadi semakin meluas.
2. Hilangnya Ruang Publik
Dalam praktiknya berbagai kepentingan dan fungsi perkotaan kerap harus mengorbankan fungsi kota lainnya. Kota sebagai pusat pertumbuhan ekonomi tentu saja memerlukan lahan bagi pengembangan ekspansi kepentingan tersebut. Persoalannya, ruang dan wilayah perkotaan jumlahnya tetap, sehingga untuk kepentingan ekonomi tersebut harus menggunakan ruang wilayah fungsi kota lainnya. Yang kerap dikorbankan adalah ruang-ruang publik.
Sarana olahraga, pendidikan kerap harus tersingkir oleh kepentingan ekonomi.Kasus penggusuran sebuah sekolah di Kawasan Melawai Jakarta baru-baru ini, merupakan salah satu contoh betapa sebuah kepentingan ekonomi harus mengorbankan fungsi kota lainnya, meski itu juga penting, yakni pendidikan.
Pergeseran fungsi lahan atau penghilangan fungsi ruang publik, disadari atau tidak menimbulkan implikasi lain yang serius. Sejak puluhan tahun terakhir ini, ruang-ruang publik antara lain untuk keperluan olahraga harus dikorbankan. Akibantnya, anak-anak muda jakarta kehilangan tempat untuk mengekspresikan jiwa muda dan ”kelebihanenerginya”.

Hidup di lingkungan dan ruang yang terbatas, tidak adanya sarana untuk mengekpresikan diri, menimbulkan dampak sosial yang serius. Perkelahian pelajar misalnya, salah satu penyebabnya adalah karena mereka kehilangan ruang publik tempat mengekspresikan jiwa mudanya.
Kondisi ini digambarkan secara cepat oleh Prijono Tjiptoherijanto:
Kebijaksanaan pembangunan perkotaan saat ini cenderung terpusat pada suatu arena yang memiliki tingkat konsentrasi yang tinggi. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan makin membesarnya area konsentrasi penduduk sehingga menimbulkan apa yang yang dikenal dengan nama daerah perkotaan. Sementara terdapat keterkaitan timbal balik antara aktivitas ekonomi dengan konsentrasi penduduk.
Para pelaku ekonomi cenderung melakukan investasi di daerah yang telah memiliki konsentrasi penduduk tinggi serta memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. Karena dengan demikian mereka dapat menghemat berbagai biaya, antara lain biaya distribusi barang dan jasa. Sebaliknya, penduduk akan cenderung datang kepada pusat kegiatan ekonomi karena di tempat itulah mereka akan lebih muda memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan (Urbanisasi dan perkotaan di Indonesia, Artikel Harian Kompas, Senin, 8 Mei 2000).
3.      Meningkatnya Kemacetan
 Pertumbuhan jumlah kendaraan sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pendapatan penduduk, membawa implikasi lain bagi perkotaan. Masalah kemacetan lalu lintas merupakan masalah yang tidak mudah dipecahkan oleh para pengambil kebijakan perkotaan.
Terbatasnya wilayah untuk memperluas jaringan jalan, merupakan kendala terbesar sehingga penambahan ruas jalan yang dilakukan pemerintah tak dapat mengimbangi laju pertambahan penduduk. Akibatnya persoalan kemacetan lalu lintas ini semakin lama semakin menjadi.
Persoalannya semakin pelik, ketika pemerintah tidak mampu menyediakan sarana transportasi umum dan massal yang memadai, sehingga masyarakat lebih nyaman menggunakan kendaraan pribadi dan akhirnya menjadikan masalah kemacetan ini makin menjadi.
Di lain pihak pembangunan kota-kota satelit di sekitar Jakarta, tak mampu memecahkan masalah ini, karena para penduduk kota satelit ini justru masih mencari penghidupan di Jakarta. Akibatnya pembangunan kota-kota ini justru hanya memperluas sebaran daerah-daerah pusat kemacetan lalu lintas.
4.      Disparitas Pendapatan Antarpenduduk Perkotaan
Perbedaan tingkat kemampuan, pendidikan dan akses terhadap sumber-sumber ekonomi menjadikan persoalan perbedaan pendapatan antarpenduduk di perkotaansemakinbesar.
Di satu pihak, sebagian kecil dari penduduk perkotaan menguasai sebagian besar sumber perekonomian. Sementara di sisi lain, sebagian besar penduduk justru hanya mendapatkan sebagian kecil sumber perekonomian. Akibatnya, terdapat kesenjangan pendapatan yang semakin lama semakin besar.
Sebagai bagian dari mekanisme pasar, kondisi ini sebenarnya sah-sah saja dan sangat wajar terjadi. Persoalannya, ternyata dan praktiknya disparitas pendapatan ini menimbulkan persoalan sosial yang tidak ringan. Terjadinya kecemburuan sosial yang bermuara pada kerusuhan massal, kerap terjadi karena persoalan ini. Dalam skala yang lebih kecil, meningkatnya kriminalitas di perkotaan, merupakan implikasi tidak meratanya kemampuan dan kesempatan untuk menikmati pertumbuhan perekonomian di perkotaan.
5.      Meningkatnya Sektor Informal
Kesenjangan antara kemampuan menyediakan sarana penghidupan dengan permintaan terhadap lapangan kerja, memacu tumbuhnya sektor informal perkotaan. Pada saat krisis ekonomi terjadi jumlah penduduk perkotaan yang bekerja di sektor informal ini semakin besar. Di satu sisi tumbuhnya sektor informal ini merupakan katup pengaman bagi krisis ekonomi yang melanda sebagian besar Bangsa Indonesia. Namun, pada gilirannya peningkatan aktivitas sektor informal, terutama yang berada di perkotaan dan menyita sebagian ruang publik perkotaan, menimbulkan masalah baru terutama menyangkut aspek kenyamanan dan ketertiban yang juga menjadi hak publik bagi warga perkotaan yang lain.
6.      Polusi Udara
Menurut hasil studi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) yang bekerjasama dengan Forchungszentrum Julich Jerman, pada tahun 1991 luas kawasan kritis polusi udara di Pulau Jawa sudah mencapai 7.800 km2, meliputi seluruh kota besar, kota sedang dan sebagian kota kecil. Untuk tahun 2001, luas kawasan mencapai 17.300 km2, tahun 2011 diperkirakan mencapai 30.500 km2 dan tahun 2021 diperkirakan mencapai 50.600 km2 (lebih luas dari Propinsi DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat).
 Pertumbuhan polusi kota dan tingkat industrialisasi yang tak terhindar, akan mengarah kepada kebutuhan enegi yang lebih besar, pada umumnya akan menghasilkan pembuangan limbah atau zat pencemar lebih banyak.pembakaran bahan bakar posil untuk pemanasan rumahtangga untuk pembangkit tenaga listrik, kendaraan bermotor, dalam proses-proses industri dan pembuangan limbah padat dengan pembakaran merupakan sumber utama dari pembuangan limbah zat-zat pencemar didaerah perkotaan.
B.     Permasalahan Tata Ruang Kota Di Indonesia
Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari banyak pulau yang dikelilingi oleh lautan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dengan adanya wilayah yang begitu luas pastinya menjadikan wilayah Indonesia memiliki banyak kota yang tersebar di masing-masing pulau, namun tata kota di Indonesia masih harus mendapatkan penanganan yang serius karena belakangan ini surat kabar atau pun media semakin sering memberitakan tentang banjir, kemacetan, polusi udara, kemiskinan, dan tentang masyarakat ataupun lingkungan di wilayah perkotaan seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan kota besar lainnya.
Masalah tersebut dampak dari perbuatan manusia sendiri yang bertindak tanpa perencanaan atau tanpa pikir panjang dampak ke depannya pada masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Selain itu berbagai masalah perkotaan timbul akibat perencanaan tata ruang kota yang tidak jelas, serta inkonsistensi pembuat kebijakan dalam melaksanakan perencanaan pembangunan. 
Sebagian dari daerah yang ada di Indonesia sudah mulai memperhatikan perencanaan tata ruang kota misalnya di Jawa Timur yang sudah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), namun pelaksanaannya tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan pemerintah. Karena itu banyak pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan dan dibiarkan. Dapat dicontohkan masalah lumpur Lapindo yang belum ada rencana pengganti ruangan yang telah rusak, seperti jalan akses ke Surabaya maupun kota-kota lain, sehingga mengganggu ekonomi masyarakat. Masalah lainnya berkaitan dengan pembangunan Jalan Lingkar Selatan (JLS) yang tak kunjung selesai.
Selain hal-hal diatas yang menjadi penyebab permasalahan tata ruang kota di Indonesia ada tiga hal penting mengenai persoalan perkotaan:
1)      Indonesia tidak punya perencanaan terintegrasi, sehingga berbagai macam persoalan muncul berkaitan dengan pembangunan kota
2)      Konsistensi dalam melaksanakan aturan yang ada juga lemah. Misalnya seluruh pemerintah, baik pusat dan daerah keliatannya konsistensinya kalau berhadapan dengan pemodal lemah, seperti kasus yang terjadi sekarang, tiba-tiba kawasan hijau akan  dijadikan mal
3)      Pemerintah kurang memiliki kemampuan mengantisipasi persoalan-persoalan di masa yang akan datang.
Seharusnya kita mencontoh Negara-negara maju seperti Belanda yang membuat rencana tata ruang kota dengan matang hingga beratus-ratus tahun tidak berubah, tetapi itu kembali lagi kepada kita yang melaksanakannya.
Bukti nyata dari masalah-masalah inkonsistensi pemerintah dalam penataan kota adalah urbanisasi yang tidak terkontrol oleh pemerintah. Pemerintah terus melakukan pembiaran yang akan berakibat anggapan bahwa jika pemerintah diam berarti masyarakat berada di posisi yang benar. Selain masalah tersebut adalah masalah transportasi yaitu semakin banyaknya masyarakat yang mempunyai kendaraan bermotor pribadi. Masalah-masalah tersebut menambah kacaunnya keadaan tata kota yang dari infrastrukturnya masih belum baik.
Dari pernyataan di atas pemerintah memang mempunyai tanggung jawab besar terhadap masalah perencanaan tata kota yang masih kacau tersebut. Karena akibat kurang matangnya perencanaan tata ruang dan inkonsistensi pemerintah berdampak kurang terkendalinya pergerakan masyarakat entah itu masalah urbanisasi, membludaknya kendaraan bermotor pribadi atau dampak lain masalah tata kota. Tetapi di sini tidak hanya menjadi masalah pemerintah tetapi sudah menjadi masalah kota tersebut menyangkut semua yang ada di dalamnya termasuk penduduk yang bertempat tinggal. Pemerintah hanyalah sebagai perwakilan yang masyarakat percaya sebagai yang dituakan atau pemberi fasilitas dan pembangun situasi dan kondisi di masyarakat. Sedang subyek yang sesungguhnya adalah masyarakat yang bertempat tinggal. Oleh karena itu harus terjadi kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi masalah tersebut.
C.    Upaya Penanggulangan Permasalahan Tata Ruang Di Indonesia
Pemerintah member bantuan teknis penataan ruang sebagai salah satu program andalan dan sebagai wujud nyata dari penyelenggaraan salah satu tugas pokok dan fungsi Ditjen Penataan Ruang yang telah memperlihatkan bentuknya yang lebih nyata dengan telah mulai diturunkannya beberapa staf andalan Ditjen Penataan Ruang ke daerah-daerah dalam menjawab kebutuhan daerah mengenai perlu adanya program pendampingan dan advisory oleh aparat Pusat ke daerah dalam upaya mereka mereview, merevisi, atau bahkan menyusun baru produk-produk rencana tata ruangnya. Yang dilakukan antara lain :
a.       Penasehatan dilakukan oleh Ditjen Penataan Ruang dengan mengirimkan tenaga ahli yang dibutuhkan dalam proses penataan ruang sesuai dengan kebutuhan daerah untuk memberikan arahan-arahan dan alternatif-alternatif solusi teknis secara profesional berkaitan dengan ragam permasalahan penataan ruang yang dihadapi oleh masing-masing daerah.
b.      Pendampingan dilakukan bila pemerintah daerah memiliki keterbatasan dalam hal pendanaan dan sumber daya manusia sehingga membutuhkan bantuan tenaga ahli teknis penataan ruang dari pemerintah pusat (Ditjen Penataan Ruang) untuk membantu dan turut menyusunkan rencana tata ruang, maupun dalam proses pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang
c.       Kerjasama pendanaan dilakukan bila Pemerintah Daerah memiliki keterbatasan dalam hal pendanaan namun telah memiliki sumber daya manusia yang cukup di bidang penataan ruang sehingga bantuan teknis yang dibutuhkan dari Pemerintah Pusat hanyalah bantuan bagi kerja sama pendanaan.
d.      Penyusunan oleh pemerintah pusat adalah penyiapan dana dan tenaga ahli oleh Pemerintah Pusat dan dalam pelaksanaannya dilaksanakan dengan keterlibatan intensif dari Pemerintah Daerah, serta pelibatan aktif dari berbagai stakeholders terkait lainnya.
Dengan adanya upaya-upaya di atas diharapkan Dinamika pembangunan yang terjadi baik yang didorong oleh kondisi di dalam wilayah Indonesia (fisik, sosial dan ekonomi) maupun akibat pengaruh eksternal (globalisasi, demokratisasi, good governance, dan lain lain) telah memunculkan berbagai tantangan baru bagi penataan ruang di Indonesia. Kondisi ini harus disikapi dengan perlunya perubahan cara pandang dan cara tindak karena tanpa itu penyelesaian yang dilakukan hanya akan bersifat simptomatik dan tidak menyentuk akar permasalahan yangsesungguhnya. Menyadari hal tersebut, Direktorat Jenderal Penataan Ruang telah menetapkan kerangka pengembangan strategis (strategic development framework) sebagai upaya terpadu untuk mengantisipasi/menjawab tantangan yang terjadi.
Penataan ruang merupakan instrumen untuk merumuskan tujuan dan strategi pengembangan wilayah terpadu sebagai landasan pengembangan kebijakan pembangunan sektoral dan daerah, termasuk sebagai landasan pengembangan infrastruktur yang efisien sesuai dengan fungsi-fungsi yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, pemanfaatan ruang untuk pembangunan infrstruktur perlu mengacu dan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Untuk dapat mewujudkan kerangka pembangungan strategis tersebut perlu dipersiapkan langkah-langkah perbaikan terhadap proses penyelelenggaraan penataan ruang, antara lain :
§  Mendorong proses penyusunan RTRW yang tidakhanya bersifat top-down akan tetapi juga diimbangi denan proses bottom-up sehingga tercipta sinergi antar kepentingan pusat dan daerah, maupuan antara kepentingan pemerintah dan seluruh pelaku pembangunan.
§  Melaksanakan proses penyusunan rencana tata ruang yang bersifat dinamis dan fokus kepada hal-hal yang strategis (strategic planning) serta mempertimbangkan keragaman budaya lokal.
§  Mengembangkan konsep audit penataan ruang sebagai instrumen monitoring dan evaluasi atau pengendalian pelaksanaan rencana tata ruang dalam skala wilayah maupun kota.
§  Melanjutkan penyiapan NSPM penyusunan rencana tata ruang (RTR) dan pemanfaatan ruang dan melakukan diseminasi, sosialisasi dan advokasi penyelenggaraan penataan ruang kepada seluruh pelaku pembangunan (pemerintah, legislatif dan kelompok-kelompok masyarakat).
§  Meningkatkan penegakan hukum dengan memasukkan aspek sanksi di dalam perubahan UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang.
§  Meningkatkan kapasitas perencana baik dari sisi kualitas maupun kuantitas dan sistem informasi penataan ruang sebagai alat monitoring dan evaluasi penyelenggaraan penataan ruang bersama-sama dengan lembaga-lembaga pendidikan, asosiasi profesi dan LSM.
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Penataan ruang merupakan instrumen untuk merumuskan tujuan dan strategi pengembangan wilayah terpadu sebagai landasan pengembangan kebijakan pembangunan sektoral dan daerah, termasuk sebagai landasan pengembangan infrastruktur yang efisien sesuai dengan fungsi-fungsi yang telah ditetapkan. Berkaitan dengan hal tersebut, pemanfaatan ruang untuk pembangunan infrstruktur perlu mengacu dan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
Perkotaan di Indonesia, tak lagi terbatas sebagai pusat pemukiman masyarakat. Kini kota juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan,sentral hirarki, dan pusat pertumbuhan ekonomi.Sebagai konsekuensi logis dari peran kota sebagai pusat pertumbuhan dan ekonomi, sumbangan perkotaan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, semakin meningkat.
B.     Saran/Kritik
Setelah membaca dan membahas makalah ini,
a.       Hendaklah kita sebagai mahasiswa harus mengetahui tentang permasalahan kota.
b.       Hendaklah kita terus mengkaji secara mendalam pengetahuan kita tentang permasalahan tata ruang kota di indonesia dan upaya penanggulangannya.
c.       Penulis mengharapkan saran dan kritikan dari berbagai pihak yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA


1 komentar: