MASYARAKAT MADANI : DEFINISI DAN KONSEP
Masyarakat madani adalah suatu
masyarakat yang berbudaya, maju dan modern. Di dalamnya, setiap warganya menyadari
dan mengetahui hak-hak dan kewajibannya terhadap negara, bangsa dan agama serta
terhadap sesama, dan tentunya juga menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia.
Masyarakat madani selalu menjadi tipe masyarakat yang didambakan oleh banyak orang,
bahkan oleh masyarakat di dunia. Tipe masyarakat ini adalah gambaran masyarakat
yang diidealkan oleh Islam dan pernah menjadi bagian dari sejarah
Rasulullah saw ketika beliau memimpin negara Islam pertama di Madinah.
Adanya istilah masyarakat madani pada prinsipnya bermula sejak hijrahnya Nabi Muhammad Saw. beserta para pengikutnya dari
Makah ke Yatsrib. Hal tersebut terlihat dari tujuan hijrah sebagai sebuah
refleksi gerakan penyelamatan akidah dan sebuah sikap optimisme dalam
mewujudkan cita-cita membentuk yang madaniyyah (beradab).
Selang dua tahun pasca hijrah
atau tepatnya 624 M, setelah Rasulullah mempelajari karakteristik dan struktur
masyarakat di Madinah yang cukup beragam, beliau kemudian melakukan beberapa
perubahan sosial. Salah satu di antaranya adalah melakukan perjanjian-perjanjian
terkait solidaritas untuk
membangun dan mempertahankan sistem sosial yang baru. Sebuah ikatan perjanjian
antara berbagai suku, ras, dan etnis seperti Bani Qainuqa, Bani Auf, Bani
al-Najjar dan lainnya yang beragam saat itu, juga termasuk Yahudi dan Nasrani.
Konsep-konsep
solidaritas yang dibangun saat itu cukup berhasil membangun suatu masyarakat
yang pluralistik, memiliki sikap toleran terhadap perbedaan yang ada, serta
dapat memberikan iklim kebebasan yang kondusif, untuk mengemukakan pendapat dan
mengekspresikan sikap dan pemikirannya serta menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan.
Konsep “masyarakat madani”
merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil society”. Orang yang
pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan dikembangkan di
Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat
madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi
Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis
ketidakbersalahan pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.
Pada masa-masa sekarang ini, makna masyarakat
lebih mengarah kepada masyarakat sipil atau terjemahan dari civil
society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah
pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang barat yang pertama kali
menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep
civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara
historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ.
Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan
masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut
dan ortodoksi gereja (Larry Diamond, 2003: 278).
Antara masyarakat madani dan civil society,
sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, sedikit berbeda konteks walaupun sangat mirip
secara substansi. Masyarakat madani adalah
istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi islami. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan
tatanan masyarakat Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil
society di masyarakat Muslim modern akan ditemukan persamaan sekaligus
perbedaan di antara keduanya.
Perbedaan lain antara civil
society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan hasil dari
proses modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari
gerakan Renaissance (gerakan masyarakat sekuler
yang meminggirkan Tuhan). Ini membuat
konsep civil society sempat
diindikasi mempunyai aspek moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan
masyarakat madani lahir dari dalam suatu proses agama. Dari alasan ini, masyarakat
madani kemudian diidentifikasi sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egaliter,
dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber
dari wahyu Allah (A. Syafii Maarif, 2004: 84).
Masyarakat madani
merupakan konsep yang sangat majemuk, memiliki banyak arti atau sering diartikan dengan makna yang beda-beda.
Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari kata civil society
atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut
Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk
menjelaskan “the sphere of voluntary activity which takes place outside of
government and the market (suatu aktivitas sosial yang terbentuk secara
sukarela tanpa adanya
intervensi pemerintah/pasar)” Merujuk pada Bahmueller
(1997).
Di Indonesia, konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan
untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural.
Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di Indonesia yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide
pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami,
perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan
tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai
masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, rasanya perlu ada
analisa lebih
jauh dan secara historis terkait kemunculan masyarakat madani dan kemunculan
istilah masyarakat sipil, agar lebih akurat
membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa Indonesia.
Dalam kutipan yang lain, masyarakat sipil diterjemahan dari istilah Inggris civil society yang mengambil dari
bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson
merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil
society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan
masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis (sekuler). Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri
individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan
bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan
sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang
berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang
secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).
Seperti ahli sosiologi Durkheim,
pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat
bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting
dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai
landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika
menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat
komersial dan masyarakat perang/militer saat itu), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya.
Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari
masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana
pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin.
Selanjutnya sebagai
pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara
keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas
terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada
satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain.
Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran
Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan
masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara
tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun
yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan
yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat
Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga
keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya,
masyarakat sipil.
Pada kenyataannya, apabila
kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari
Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung mengacu
kepada konsep masyarakat menurut Ibnu Khaldun. Deskripsi beliau justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan
agama sebagai landasan analisisnya.
Pada kenyataannya
masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk
kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan
masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas, seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan
para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama
dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din
(diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan
bahwa nama kota Yatsrib berubah menjadi
Medinah bermakna disanalah agama berlaku (lih. Alatas,
2001:7).
Secara historispun
masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali.
Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi
jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan,
agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan
hukum.
Masyarakat madani
sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen usang. Ia
merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang
dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah
Alquran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar