Tajdid
diera sekarang
Di tengah perubahan zaman yang demikian cepat, tantangan
yang dihadapi Muhammadiyah tidak semakin mudah. Sejak berdiri satu abad silam,
Muhammadiyah telah mengukuhkan jati dirinya sebagai gerakan Islam yang
melaksanakan dakwah dan tajdid. Dakwah dilakukan dengan mendirikan sistem
organisasi yang dinamis dan berkemajuan, dengan berlandaskan al-Quran dan
as-Sunnah. Tajdid dilakukan dengan dua cara, yaitu pemurnian (purifikasi) dan
pembaruan atau pengembangan (dinamisasi).
Wujud nyata dari gerakan itu sudah tercermin dalam
kepeloporan Muhammadiyah dengan mendirikan lembaga pendidikan Islam modern,
Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO), panti asuhan, dan mendobrak segala praktik
dan pemikiran Islam yang jumud. Namun demikian, sejalan dengan tema yang
diusung dalam Muktamar Satu Abad: Gerak Melintasi Zaman, Dakwah dan Tajdid
Menuju Peradaban Utama, diperlukan perangkat-perangkat konseptual,
epistemologi, serta metodologi konteksual dan multiperspektif agar gerakan
tajdid Muhammadiyah dapat masuk ke percaturan dunia kontemporer sembari tetap
kokoh dalam jati dirinya yang genuine.
Kontekstualisasi gerakan tajdid semakin niscaya, ketika
Muhammadiyah menjadi sebuah gerakan Islam yang memang punya jati diri khusus
dan berbeda dari organisasi Islam manapun di dunia. Sebagai gerakan pemurnian,
Muhammadiyah berbeda dari gerakan Islam semisal Wahhabi atau Ikhwan
al-Muslimin. Modernisme Islam Muhammadiyah juga tidak sama dan sebangun dengan
gerakan Islam modernis semacam Persatuan Islam (Persis).
Muhammadiyah bukanlah gerakan Islam bercorak salafiah dan
lebih menonjolkan aspek pemurnian an-sich, apalagi sampai menempuh jalur
kekerasan. Menurut Prof. Deliar Noer (1996), gerakan Muhammadiyah
bersifat toleran. Hal ini bisa dipahami. Sebab, KH. Ahmad Dahlan, dalam
pandangan Prof. Robert W Hefner (2001) adalah seorang pemikir Islam moderat,
yang berani mengambil modernitas Barat demi kemajuan umat dan dunia Islam.
Tidak heran, Prof. Nurcholish Madjid (1983) pernah
menyatakan, Kiai Dahlan adalah sosok pencari kebenaran sejati, yang secara
cerdas mampu menangkap makna tersirat tafsir al-Manar, sehingga langkah
tajdidnya bersifat break-through (terobosan). Dalam konteks ini, Dr.
Haedar Nashir (2006) menegaskan, gerakan Muhammadiyah tidak sekadar meneguhkan
dan memurnikan paham agama semata, tetapi juga mampu memajukan kehidupan umat
Islam pada khususnya dan umat manusia pada umumnya. Dengan kata lain,
Muhammadiyah telah menghadirkan Islam yang murni dan berkemajuan.
Pernyataan-pernyataan tadi bukan isapan jempol.
Senyatanya, memang terdapat dialektika pemikiran yang tidak pernah berhenti
dalam tubuh Muhammadiyah. Sebagai gerakan Islam yang murni dan berkemajuan, di
satu sisi Muhammadiyah terus berupaya mempertahankan keotentikan Islam sesuai
al-Quran dan as-Sunnah, lalu mengembangkan ijtihad dan tajdid yang senapas
dengan dinamika zaman di sisi lain. Muhammadiyah memang tidak anti-ijtihad,
selama itu sesuai dengan jiwa Islam.
Lima Agenda
Di tengah kemajuan teknologi informasi yang membuat
manusia hidup dalam an integrated digital network seperti sekarang,
paling tidak, ada lima agenda tajdid yang strategis dan patut segera
diupayakan.
Pertama, tajdid dalam bidang akidah. Yang dimaksud pembaruan
akidah di sini tentu bukan memodifikasi akidah Islam, tetapi melenyapkan segala
gejala dan praktik syirik. Tidak disangkal, pada manusia modern, syirik kerap
tampil dalam kemasan modern pula.
Materialisme, misalnya, adalah syirik dalam kemasan
modern. Saat ini, ada kecenderungan seolah-olah materi (iptek, harta, tahta)
adalah means everything, sehingga menjadi ukuran keberhasilan dan
kegagalan. Oleh pelaku syirik modern, segala yang tampak dan nyata itu
diberhalakan, senantiasa dikejar, seraya mengesampingkan nilai-nilai ketuhanan.
Inilah yang harus diperbarui, dikikis habis sampai ke akar-akarnya.
Kedua, tajdid dalam bidang teologi. Yang dimaksud teologi di sini bukan ilmu
teologi gaya lama, seperti membahas secara bertele-tele dua puluh sifat Allah,
dimanakah kedudukan seorang muslim yang melakukan dosa besar, kemakhlukan dan
keazalian al-Quran, dan semacamnya. Semua itu bukan berarti tidak penting.
Namun, yang lebih penting lagi adalah bagaimana hubungan antara ketuhanan dan
kemanusiaan. Jadi, teologi tidak boleh sekadar didiskusikan secara njelimet dan
tidak jelas ujung-pangkalnya, tetapi harus dibumikan. Ajaran Islam harus
menjadi resep mujarab atas problem kehidupan nyata manusia, berupa eksploitasi,
penindasan, dan kemiskinan.
Ketiga, tajdid dalam bidang ilmu pengetahuan. Prof. M. Amin Abdullah pernah
menyatakan, umat Islam jangan sampai terkena expired knowledge. Karena
itu, kita harus terus meng-update ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini
sejalan dengan apa yang dikatakan Alvin Toffler (1980), bahwa dalam dunia
modern ini ada tiga kekuatan: low level of power itu kekuatan fisik, midlevel
of power itu kekuatan ekonomi, sementara high level of power adalah
sains dan teknologi.
Jadi, sains dan teknologi adalah kekuatan paling ampuh.
Sekarang ada istilah ulama pesantren dan ulama kampus. Dalam upaya meningkatkan
sains dan teknologi, tidak ada salahnya mereka yang akrab dengan kitab kuning (al-kutub
al-shafra) bekerja sama dengan mereka yang menguasai kitab putih (al-kutub
al-baidha).
Keempat, tajdid dalam bidang manajemen organisasi. Kemajuan teknologi informasi
telah menjadikan jarak spasial semakin menyempit. Begitu mudahnya orang
mendapat informasi dari seluruh penjuru dunia, tanpa menunggu dalam waktu lama.
Menurut David Hakken (1999), ruang maya (cyberspace) telah menjadi ruang
bertatap pikiran antara komunitas dunia. Karena itu, dalam pemanfaatan ruang
maya ini, Muhammadiyah jangan lagi tertinggal oleh organisasi Islam lain.
Bukankah Muhammadiyah ini tidak sebatas berorientasi dalam lingkup nasional,
tetapi juga internasional. Pemanfaatan ruang maya, selain untuk kepentingan
internal, juga sangat berguna untuk melebarkan sayap dakwah ke seluruh warga
dunia. Terlebih, sebagai organisasi Islam dengan amal usaha terbesar dan
tersukses di dunia, kehadiran Muhammadiyah di ruang maya, jelas akan menjadi
bumbu penyedap bagi kehidupan umat manusia di dunia.
Kelima, tajdid dalam bidang etos kerja. Islam ini adalah agama yang mengajarkan
orientasi kerja (achievement-orientation). Paham fatalisme atau paham
nasib tidak punya tempat dalam Islam. Yang harus disadari, sekarang ini kita
telah memasuki era liberalisasi perdagangan antara negara-negara Asia Tenggara.
Pada 2020, kita akan memasuki era liberalisasi perdagangan antara negara-negara
Asia Pasifik (Indonesia, China, Jepang, Taiwan, Korea, Amerika Serikat, Kanada,
Australia, Selandia Baru). Kita benar-benar tidak ingin umat Islam ini rajin
shalat lima waktu, berpuasa Ramadan, dan banyak mengaji al-Quran, tetapi
disiplin, kerja keras, menghargai waktu, prestasi, dan kejujuran tidak menjadi way
of life. Jika itu terjadi, jangan kaget jika nanti umat Islam hanya akan
menjadi kuli internasional.
Pembaruan atas lima bidang tadi harus segera dilakukan.
Muhammadiyah jangan sampai terjebak pada masalah-masalah kontroversial yang
sebenarnya sepele, tetapi kerap melelahkan. Masih banyak agenda lebih besar,
strategis, dan faktual ketimbang sibuk mengurus masalah-masalah periferal
(pinggiran), apalagi sekadar ritualistik, yang bukan merupakan agenda utama
pembaruan Islam menuju peradaban utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar